Rabu, 17 September 2025

Setulus Apa Rasamu..

Setelah aku benar-benar melepaskanmu, aku mulai menyadari Ternyata rasamu begitu kecil, tidak pernah cukup untuk disebut cinta.

Wajahmu biasa saja.
Usahamu? Nyaris tak pernah ada.
Dan terima kasih sayangmu... hanyalah kumpulan kata isi tanpa, yang bahkan tak mampu bertahan di antara diamku.

Dan aku sempat bertanya, bagaimana mungkin aku dulu terpikat padamu?

Mengapa aku rela mengorbankan banyak hal demi

seseorang yang bahkan tak pernah benar-benar berusaha menggenggamku?

Kini aku mengerti, ternyata benar, cinta yang tulus bisa membutakan.

Aku buta oleh perasaanku sendiri, buta oleh harapan, buta oleh keinginan untuk percaya bahwa kau adalah orang yang tepat.

Lucu rasanya, dulu aku sempat mengira engkau segalanya.

Padahal tak lebih dari seseorang yang kebetulan hadir di saat aku sedang ingin percaya pada siapa pun.

Sekarang aku tahu, bukan engkau yang begitu berharga, tapi perasaanku sendiri yang terlalu tulus-hingga sempat memuliakanmu lebih dari yang pantas.

Aku tidak menyesal, hanya merasa geli mengingat betapa mudahnya aku silau oleh sesuatu yang ternyata tidak seberapa. Dan kau, dengan segala ketidakseriusanmu, hanya membuktikan satu hal:

Aku pernah jatuh terlalu rendah pada seseorang yang tak layak

Terima kasih sudah sempat singgah-karena lewatmu aku belajar mengenali siapa yang harus segera kutinggalkan Tidak ada lagi ruang, tidak ada lagi pintu, bahkan tidak ada lagi
lorong sempit di pikiranku untukmu.

Semoga kita tidak pernah bertemu lagi, tidak dalam kebetulan, tidak dalam sapaan, bahkan tidak dalam ingatan yang mungkin masih mencoba berkhianat.

Jika pun suatu hari dunia iseng mempertemukan kita, anggaplah aku sekadar orang asing yang pernah salah memberi tempat terlalu mulia untukmu.

Aku bukan pilihan terakhir......

Pada akhirnya aku harus sadar bahwa aku bukan pilihan terakhir. Kesadaran itu datang seperti pisau yang perlahan menembus daging, tidak sekaligus, tapi cukup dalam untuk membuatku terjatuh dalam sepi. Aku hanyalah bayangan di tepi jalan cintamu, tempat singgah sebelum kau menemukan cahaya yang Jain.

Ada luka yang mengendap, seperti lilin yang terus meleleh tanpa pernah dipedulikan apinya. Aku terbakar demi memberi terang, tapi kau memilih berjalan menuju matahari yang lebih besar.

Dalam diam aku pun mengerti, bahwa tidak semua nyala pantas kau jaga. Aku hanyalah api kecil yang kau biarkan padam.

Menjadi bukan pilihan terakhir membuatku seperti pohon yang kehilangan daunnya di musim dingin. Aku tetap berdiri, tapi hampa, meranggas, menanti musim yang entah akan kembali atau tidak. Kau adalah badai yang merenggut segalanya, meninggalkan aku dalam sunyi yang berdesir panjang.

Kini air mataku bukan lagi tanda kelemahan, melainkan samudera yang menelan segala sisa kenangan. Setiap tetesnya adalah perpisahan kecil, hingga akhirnya aku sadar: kau tidak pernah sungguh-sungguh memilihku, hanya meminjamku untuk menunda kesepianmu sendiri.

Dan pada akhirnya, aku berjalan sendirian di lorong gelap, tanpa cahaya dari siapapun. Mungkin aku bukan pilihan terakhir, mungkin aku hanyalah persinggahan yang tak diingat. Namun biarlah, dalam kegelapan ini aku belajar menjadi api bagi diriku sendiri meski redup, meski rapuh, setidaknya ia bukan lagi bergantung pada tanganmu".