Aku menulis ini bukan untuk menyalahkanmu.
Aku menulis ini karena aku sudah terlalu lama diam,
dan diam yang terlalu lama hanya melahirkan luka yang tidak terlihat
tapi terus tumbuh dan menyesakkan dari dalam.
Kau tidak pernah benar-benar pergi.
Kau ada. Selalu ada. Tapi entah mengapa aku merasa sendirian.
Kehadiranmu seperti bayangan-tampak, tapi hampa.
Kau berbicara, tapi tak menjawab.
Kau dekat, tapi tak menyentuh.
Kau membuatku merasa aku penting,
namun tak pernah cukup penting untuk kau perjuangkan.
Dan justru karena kau tidak benar-benar menghilang,
aku jadi sulit menyudahi.
Bagaimana aku bisa mengakhiri sesuatu yang tampaknya masih ada,
meski tak pernah benar-benar utuh?
Aku pernah mencoba memahami, berpikir mungkin kau hanya butuh waktu,
butuh ruang, butuh keberanian untuk mencintaiku dengan lebih pasti, Tapi lama-lama aku sadar: bukan waktu yang kau butuhkan-kau hanya tidak ingin kehilangan, tanpa perlu benar-benar memilihku.
Kau menahanku dengan diam.
Kau menenangkanku dengan harapan-harapan yang tak pernah kau tepati.
Kau membuatku percaya, lalu membiarkanku menggantung.
Tahukah kau betapa menyiksanya menjadi seseorang yang terlalu sering menunggu tanpa tau sedang menunggu apa?
Aku bisa menghadapi ditinggalkan, tapi aku tidak tau bagaimana bertahan dihadapan seseorang yang tidak benar benar tinggal.
Seseorang yang tidak pergi, tapi juga tidak berjuang,.
Seseorang yang menggenggam begitu longgar, hingga aku terus menerus merasa takut jatuh, namun tak juga dilepaskan agar aku bisa benar benar bangkit.
Aku lelah.
Lelah mencintai seseorang yang setengah hati.
Lelah berharap pada sesuatu yang tak pernah ingin menjadi nyata.
Lelah menjadi satu satunya yang memperjuangkan "Kita" Yang sebenarnya hanya hidup dalam imajinasiku.
Maka kali ini,
Ijinkan aku memilih diriku sendiri,
Bukan karna ak berhenti mencintaimu,
Tapi karena aku mulai mencintai diriku yang telah lama menunggumu.
Kalau suatu hari nanti kau bertanya kenapa aku pergi?!
Jawabannya sederhana :
"Karena kau tak benar benar ingin aku tinggal"
Dan aku akhirnya percaya, diampun bisa melukai.
Bahkan lebih dalam dari kata perpisahan,.
Aku yang pernah Bertahan, Tapi Akhirnya Memilih pulang ke diri sendiri.