Pada akhirnya aku harus sadar bahwa aku bukan pilihan terakhir. Kesadaran itu datang seperti pisau yang perlahan menembus daging, tidak sekaligus, tapi cukup dalam untuk membuatku terjatuh dalam sepi. Aku hanyalah bayangan di tepi jalan cintamu, tempat singgah sebelum kau menemukan cahaya yang Jain.
Ada luka yang mengendap, seperti lilin yang terus meleleh tanpa pernah dipedulikan apinya. Aku terbakar demi memberi terang, tapi kau memilih berjalan menuju matahari yang lebih besar.
Dalam diam aku pun mengerti, bahwa tidak semua nyala pantas kau jaga. Aku hanyalah api kecil yang kau biarkan padam.
Menjadi bukan pilihan terakhir membuatku seperti pohon yang kehilangan daunnya di musim dingin. Aku tetap berdiri, tapi hampa, meranggas, menanti musim yang entah akan kembali atau tidak. Kau adalah badai yang merenggut segalanya, meninggalkan aku dalam sunyi yang berdesir panjang.
Kini air mataku bukan lagi tanda kelemahan, melainkan samudera yang menelan segala sisa kenangan. Setiap tetesnya adalah perpisahan kecil, hingga akhirnya aku sadar: kau tidak pernah sungguh-sungguh memilihku, hanya meminjamku untuk menunda kesepianmu sendiri.
Dan pada akhirnya, aku berjalan sendirian di lorong gelap, tanpa cahaya dari siapapun. Mungkin aku bukan pilihan terakhir, mungkin aku hanyalah persinggahan yang tak diingat. Namun biarlah, dalam kegelapan ini aku belajar menjadi api bagi diriku sendiri meski redup, meski rapuh, setidaknya ia bukan lagi bergantung pada tanganmu".