Minggu, 07 September 2025

"Hadir yang Terabaikan, Pergi yang Tak Terlupakan"

Ada saatnya manusia bertahan dalam diam, meski hatinya terus diremukkan perlahan oleh sikap yang abai. Ada saatnya seseorang memberi seluruh tenaga, waktu, dan cinta-namun tak dianggap lebih dari bayangan yang melintas sebentar. Kehadiran menjadi rutinitas yang biasa, suara menjadi gema yang tak didengar, dan kasih menjadi air yang dianggap takkan pernah kering.

Namun begitulah, cinta yang hadir setiap hari sering kali tak disadari nilainya. Mata yang terbiasa melihat, justru mudah menyepelekan; hati yang terbiasa menerima, justru lupa berterima kasih, Orang yang ada di sampingmu hari ini, mungkin adalah kehilangan terbesarmu esok hari.

Ada orang yang tidak pernah dipeluk dengan syukur saat hadir, tetapi dipeluk erat oleh penyesalan ketika pergi. Karena kepergian itu bukan hanya tentang hilangnya raga, melainkan tentang hampa yang ditinggalkan. Saat seseorang yang dulu selalu ada, tiba-tiba tidak lagi bisa kau temui, barulah waktu mengajarkan: betapa berharganya ia yang kau anggap sepele.

Hidup adalah ironi-kadang manusia baru memahami nilai sebuah kehadiran ketika yang ditinggalkan hanyalah jejak, doa, atau kenangan yang berulang di kepala. Betapa sering kita membiarkan hati yang setia patah, dengan dalih kesibukan, dengan alasan lelah, atau bahkan dengan sikap acuh yang kita anggap sepele.

Maka jika dunia ini menolak menghargai dirimu ketika kau hadir, biarlah ia belajar lewat kepergianmu. Biarlah sunyi yang kau tinggalkan mengajarkan makna. Biarlah kosongnya kursi yang dulu kau duduki menjadi pengingat betapa hangatnya dirimu saat ada. Kadang pergi adalah satu-satunya bahasa paling tegas untuk mengatakan: aku bukan sekadar bayangan, aku manusia yang layak dihargai.

Pergi bukan berarti kalah, bukan pula dendarn. Pergi adalan cara merawat harga diri. Karena ada luka yang tak bisa diobati dengan kata maaf, hanya bisa disembuhkan dengan jarak. Ada cinta yang tak bisa dipaksakan untuk terus memberi, tanpa pernah dihargai. Dan ada kehadiran yang tak boleh terus diperlakukan seperti debu di tepi jalan.

Maka, jangan menangis bila akhirnya kepergianmu membuat orang lain baru menyadari siapa dirimu sebenarnya. Sebab kadang luka yang paling dalam bukan ketika kau tidak dianggap, melainkan ketika kau sadar selama ini kau ada, tetapi mereka tidak pernah benar-benar melihatmu.

Dan dari sanalah filosofi hidup berbisik: tidak semua kehadiran harus dipertahankan. Ada yang cukup menjadi kenangan. Ada yang cukup menjadi pengingat. Karena nilai manusia tidak ditentukan oleh siapa yang menghargai, tetapi oleh bagaimana la menjaga martabatnya sendiri.

Jadilah sosok yang ketika hadir mungkin diabaikan, tetapi ketika pergi, kepergianmu menjadi tanda tanya yang tak pernah terjawab, menjadi sesal yang tak pernah sembuh, menjadi rindu yang tak pernah padam Sebab itulah takdir dari hati yang tulus -sering kali dipahami terlambat, tetapi justru di situlah letak keabadian maknanya.